Jumat, 15 Mei 2009

Tanaman Keji Beling

Tanaman Keji Beling

keji_belingKeji beling atau orang jawa menyebutnya dengan nama “sambang geteh”, sementara di tanah pasundan dikenal dengan sebutan “remek daging”, “reundeu beureum”, dan orang ternate menyebutnya dengan nama “lire”.

Tumbuhan ini memiliki banyak mineral seperti kalium, kalsium, dan natrium serta unsure mineral lainnya. Disamping itu juga terdapat asam silikat, tannin, dan glikosida. Kegunaannya sebagai obat disentri, diare (mencret) dan obat batu ginjal serta dapat juga sebagai penurun kolesterol.

Daun tanaman ini selain direbus untuk diminum airnya, juga dapat dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur. Daun keji beling juga kerap digunakan untuk mengatasi tubuh yang gatal kena ulat atau semut hitam, caranya dengan cara mengoleskan langsung daun keji beling pada bagian yang gatal tersebut.

Untuk mengatasi diare (mencret), disentri, seluruh bagian dari tanaman ini direbus, selama lebih kurang setengah jam, kudian airnya diminum. Sama juga prosesnya untuk mengobati batu ginjal. Daun keji beling juga dapat mengatasi kencing manis dengan cara dimakan sebagai lalapan secara teratur setiap hari.

Demikian pula untuk mengobai penyakit lever (sakit kuning), ambien (wasir) dan maag dengan cara dimakan secara teratur.

Tanaman keji beling (stachytarpheta mutabilis) adalah jenis tumbuhan dengan ciri-ciri memiliki batang yang basah, sepintas lalu meyerupai rumput berbadan tegak. Di pulau jawa tanaman ini banyak sekali terdapat dipedesaan dan tumbuh diantara semak. Dengan warna kulit ungu berbintik hijau, apabila sudah tua berubah menjadi coklat.

Panjang helaian daun (tanpai tangkai) berkisar antara 5 – 8 cm (ukuran normal) dan lebih lebar daun kira-kira 2 – 5 cm. tumbuhan ini mudah berkembang biak pada tanah subur, agak terlindungi dan ditempat terbuka.

Mentimun

Mentimun

ketimunMentimun ternyata memiliki beragam khasiat. Biji mentimun memiliki racun alkaloid jenis hipoxanti untuk mengobati anak-anak yang menderita cacingan.

Selain itu mentimun dapat digunakan untuk mengobati penyakit disentri. Kandungan yang terdapat pada mentimun antara lain 0.65% protein, 0.1% lemak dan karbohidrat sebanyak 2.2%, kalsium, zat besi, magnesium, fosforus, vitamin A, B1, B2, dan C.

Apabila anda menderita sakit pada tenggorokan yang menyebabkan sulit bicara (batuk) dapat dirawat dengan biji mentimun. Caranya sedikit biji mentimun dicampurkan dengan sedikit garam dan dikumur beberapa hari sekali. Pengobatan ini dipercaya dapat mengembalikan suara yang hilang akibat sakit tersebut.

Penyakit pening-pening yang berakibat menurunkan berat badan dapat diatasi dengan mengkonsumsi mentimun mentah atau yang telah dimasak. Selain itu, mentimun juga dapat mengobati penyakit disentri.

Bersihkan ginjal

Selain mampu menurunkan demam, mencegah sariawan, menurunkan tekanan darah tinggi, tanaman merambat ini juga mampu membersihkan ginjal.

1. tekanan darah tinggi – parut buah mentimun dan peras airnya kemudian diminum 2 – 3 kali sehari.

2. sariawan – setiap hari makan buah ketimun sebanyak 9 buah lakukan secara rutin

3. Membersihkan ginjal – parut buah mentimun dan peras airnya kemudian diminum sedikit demi sedikit sampai lambung terbiasa menerima cairan mentimun.

4. Demam – parut mentimun dan letakan hasil parutan diatas perut

5. Jerawat – cuci dan iris kecil kecil buah mentimun kemudia letakkan diatas jerawat.

Labu Cegah Gusi Berdarah

Labu Cegah Gusi Berdarah

labu_siamLabu siam atau Jipang (sechium edule) adalah jenis tumbuhan suku labu-labuan yang dapat dimakan buah dan pucuk mudanya. Tanaman ini tumbuh merambat diatas tanah atau agak memanjat dan biasanya sering dibudidayakan di pekarangan atau kebun belakang, biasanya sering didekat kolam. Buahnya menggantung dari tangkai dengan bentuk daun segitiga dan permukaan daunnya sedikit berbulu.

Negara pengekspor utama labu siam didunia adalah costa rica, sementara di Indonesia labu siam termasuk kedalam kategori sayuran sekunder, namun kita dapat menjumpainya di pasar-pasar tradisional. Buahnya merupakan sayuran penting dimasakan. Orang Indonesia mengenalnya sebagai labu siam, karena memang tanaman ini didatangkan dari negri siam.

Kandungan buah labu siam yang menyejukan banyak mengandung getah serta zat-zat seperti protein, lemak, kalsium, fosfor, dan besi. Labu siam memiliki khasiat untuk menyembuhkan sejumlah penyakit diantaranya adalah gusi berdarah. Parut labu siam yang sebelumnya sudah dicuci, kemudian beri 2 sendok makan air matang dan 1 sendok makan madu. Peras dan saring, diminum sehari 3 kali sebanyak yang diperlukan.

Manfaat lainnya adalah mengatasi sariawan. Dengan memakan buah labu siam sebagai lauk atu bisa juga dimakan mentah sebagai lalapan. Labu siam juga mampu menghilangkan garis hitam ditumit, caranya dengan mengoleskan getah labu siam pada tumit yang bergaris hitam. Tunggu sampai kering kemudian buka secara perlahan. Selamat mencoba.

Belimbing Wuluh

Belimbing Wuluh

belimbing_wuluhMeskipun rasanya masam, belimbing wuluh ampuh mengatasi berbagai penyakit ringan dan penyakit degenerative serta bisa digunakan sebagai obat luar.

Kebanyak orang mengenal belimbing wuluh hanya sebagai tanaman pekarangan. Padahal, tanaman tropis ini juga dapat digunakan untuk mengobati beragam penyakit

Melihat sosoknya tanaman ini kurang menarik. Namun dibalik sosoknya yang kurang menonjol, belimbing wuluh merupakan tanaman yang berkhasiat untuk mengatasi batuk, rematik, hingga tekanan darah tinggi. Selama ini orang mengambil manfaat belimbing wuluh hanya sebagai sirup, manisan, atau bumbu masak. Padahal secara tradisional tanaman ini banyak dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai penyakit seperti batuk, diabetes, rematik, gondongan, sariawan, sakit gigi, gusi berdarah, sampai tekanan darah tinggi.

Bagian yang biasa digunakan adalah buah, batang, daun, dan bunganya. Keempat bagian tersebut banyak mengandung senyawa yang berkasiat. Diantaranya adalah saponin, tannin, glukosida, hingga kalsium. Salah satu yang paling dikenal orang belimbing wuluh sebagai obat sariawan. Konon rasanya yang masam mengandung vitamin C yang tinggi, caranya dengan mengunyah atau ditempelkan pada bagian yang sariawan.

Khasiat lain adalah sebagai obat asma atau sesak nafas. Cukup dengan merebus bunga belimbing wuluh dengan air dan gula batu. Lalu diminum sehari 2 – 3 kali setiap hari, sampai asma dan alerginya sembuh. Belimbing wuluh juga mampu mengobati batuk kering, kandungan kaliumnya mampu melancarkan dahak dan menurunkan panas..

Anda mengidap gangguan tekanan darah tinggi..? atasi juga dengan belimbing wuluh, rebus 3 buah belimbing wuluh yang diiris dengan 3 gelas air sampai tinggal setengahnya. Kemudian saring dan minum dipagi hari.

Khasiat Tanaman Jahe

Khasiat Tanaman Jahe

jahe

Jahe, lebih dari sekedar bumbu dapur, karena terbukti manjur mengusir berbagai penyakit. Bahkan NASA, pernah tertarik meneliti khasiat jahe untuk mengatasi mabuk para awaknya.

Tidak ada yang tahu persis asal mulanya tanaman jahe alias zingiber officinale telah dikenal sebagai bumbu dapur yang berkhasiat obat sejak ratusan tahun yang lalu.

Di cina, jahe kering telah dipakai sebagai bahan baku obat oleh seorang tabib yang hidup pada zaman kaisar Shen Nong, yang hidup 2000 tahun sebelum masehi. Di cina juga di temukan dua buku kedokteran yang pertama kali membahas khasiat jahe segar pada tahun 500 masehi. Selain di negeri tirai bamboo, yang dikabarkan telah mengenal jahe 2000 tahun sebelum masehi adalah india.

Negara-negara barat juga banyak yang memanfaatkan jahe sebagai obat traditional. Setidaknya itu dibuktikan dengan bahasan khasiat tanaman jahe yang tertulis pada buku kedokteran anglo saxon yang terbit pada abad ke 11. Dua abad kemudian, jahe merupakan bumbu dapur yang sangat popular di inggris, setelah lada hitam. Harga bumbu dapur ini juga ketika itu selangit, untuk memperoleh 1 pon ( setengah kilogram) jahe, harus mengeluarkan uang yang nilainya setara sengan seharga seekoor domba.

SEJARAH PENGOBATAN
Di cina, jahe segar di anggap berbeda dengan jahe kering. Bahkan ada seorang ahli tumbuhan kuno yang mengira jahe berasal dari dua tanaman yang berbeda. Ahli pengobatan sering memakai jahe segar untuk mengusir ‘hawa dingin’ atau ‘ racun’ dan mengurangi rasa mual. Sementara jahe kering di pakai untuk menyembuhkan kekurangan ‘hawa dingin’ pada nyeri lambung , nyeri perut, diare, batuk dan rematik.

Di india jahe segar juga dimanfaatkan untuk mengobati mual, asma, batuk dan rasa nyeri yang hebat dan mendadak, juga dipakai untuk mengatasi jantung berdebar-debar, gangguan pencernaan, nafsu makan menurun dan rematik bahkan , pada abad ke 19, sari jahe menjadi obat asma dan batuk yang popular di india. Untuk obat batuk, sari jahe di campur jus bawang putih segar dan madu, sedangkan untuk meredakan mual, jahe segar ditambah sedikit madu dan sejumput bulu burung merak bakar. Bubuk jahe segar juga bisa di campur air, kemudian di aduk hingga berbentuk pasta dan dioleskan di pelipis untuk meredakan sakit kepala.

Kebanyakan orang eropa minum teh jahe untuk mengatasi gangguan pencernaan. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa minum dua atau tiga cangkir penuh the jahe dapat mengurangi gejala gout (penyakit radang sendi akibat kelebihan asam urat), perut kembung atau gangguan pencernaan (akibat terlalu banyak minum minuman keras ). Selain itu jahe juga memiliki khasiat memperlancar peredaran darah.

PENELITIAN TERBARU
jahe_keringPeneliti-penelit modern ternyata member dukungan terhadap penggunaan ‘ramuan tradisional’ jahe ini. Dari hasil penelitian, ekstrak jahe, baik dari jahe segar maupun jahe kering, berkhasiat dalam mengatasi infeksi bakteri, infeksi jamur, kejang, nyeri, luka serta gangguan lambung, tumor, kram dan reaksi alergi. Ekstrak jahe yang di teliti adalah sesuai standard gingerol, yaitu ekstrak yang tidak kehilangan rasa dan aroma jahe yang tajam.

Penelitian terhadap binatang percobaan tikus yang di lakukan di cina dan Negara – Negara barat, menunjukan bahwa jahe segar ampuh untuk meredakan nyeri dan infeksi. Percobaan in vitro (laboratorium) memperlihatkan bahwa jahe menghambat oksidasi (= bersifat antioksidan) sehingga dapat mengurangi resiko penyakit kanker, dan juga menghambat pertumbuhan dari kuman.

Jahe juga bermanfaat untuk sirkulasi darah. Tumbuhan rimpang ini memiliki khasiat antikoagulan (anti pembekuan darah) yang lebih hebat dari pada bawang putih atau bawang merah. Jahe juga mampu menurunkan kadar kolesterol karena bisa mengurangi penyerapan kolesterol dalam darah dan hati. Penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli di jepang memperlihatkan bahwa jahe dapat menurunkan tekanan darah dengan jalan mengurangi laju aliran darah perifer (aliran drah tepi).

Para ahli juga ada yang mencoba jahe untuk mengobati migren. Pengujian ini di dorong terapi ayurveda untuk mengobati gangguan pada sistem saraf. Khasiat jahe sebagai obat migren ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Pada umumnya penelitian jahe diutamakan untuk mengetahui efeknya terhadap pencernaan. Di negeri cina, hasil penelitian yang dilakukan terhdap manusia menunjukan bahwa minuman yang terbuat dari jahe segar dapat menurunkan sekresi asam lambung selama beberapa jam. Kemudian meningkat kembali setelah beberapa lama. Penelitian lainnya menyatakan bahwa akar jahe kering aakan memperkuat lambung, usus halus dan mencegah muntah.

Penelitian terbaru menunjukan ekstrak aseton dan methanol yang berasal dari jahe memiliki efek yang kuat untuk menghambat terjadinya tukakl ( luka) pada lambung. Penelitian lainnya menunjukan bahwa gingerol mampu mengatasi afek toksisitas (keracunan) pada hati dengan jalan meningkatkan asam empedu.

Jumat, 01 Mei 2009

10 Hal Tabu dalam Mendidik Anak

Apa yang akan terjadi jika anak dibesarkan dalam kondisi yang dipenuhi dengan kekerasan? Tentu, ia akan mengadopsi cara-cara yang sering ia lihat ke dalam kehidupannya kelak. Meski tak selalu, lingkungan memang sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak selanjutnya, termasuk bagaimana orang tua mendidik mereka.

Anak yang dibesarkan dalam situasi keluarga yang nyaman tentu berbeda dengan anak yang selalu diberi hukuman fisik oleh orang tuanya. Sayangnya, tak sedikit orang tua yang tidak tahu bagaimana cara memberikan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan optimal anak. Akibatnya, anak pun tumbuh tidak sebagaimana yang diharapkan.

Nah, berikut ini adalah 10 hal yang harus dihindari dalam mendidik anak:

1. Terlalu lemah Misalnya, selalu memenuhi semua permintaan anak. Anak tidak diajar untuk mengenal hak dan kewajiban. Akibatnya, anak menjadi terlalu penuntut, impulsif (gampang melakukan tindakan tanpa perhitungan), egois, dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain.

2. Terlalu menekan Misalnya, orang tua terlalu mengatur dan mengarahkan anak, tanpa memperhatikan hak anak untuk menentukan keinginannya sendiri, atau untuk mengembangkan minat dan kegiatan yang ia inginkan. Akibatnya, anak akan menjadi lamban, selalu bekerja sesuai perintah, tidak memiliki pendirian, dan suka melawan.

3. Perfeksionis Orang tua menuntut anak untuk menunjukkan kematangan sikap atau target tertentu yang umumnya melebihi kemampuan yang wajarnya dimiliki anak. Akibatnya, anak akan terobsesi untuk meraih prestasi yang diharapkan orang tuanya. Ia juga akan menjadi terlalu keras dan kritis terhadap dirinya sendiri.

4. Tidak memberi perhatian Orang tua hanya menyediakan sedikit waktu untuk memperhatikan setiap perkembangan anak, atau membantu anak menempuh tahap demi tahap perkembangannya. Akibatnya, anak tak mampu membina hubungan dengan lingkungannya dan akan tumbuh menjadi anak yang impulsif.

5. Terlalu cemas akan kesehatannya Orang tua terlalu berlebihan mencemaskan kondisi fisik anak. Padahal, secara obyektif, anak sehat. Sakit sedikit saja, orang tua cemasnya minta ampun. Akibatnya, anak akan mudah merasa tak sehat dan ikut merasakan kecemasan yang sama. Enggan bermain, takut jatuh, dan sebagainya.

6. Terlalu memanjakan Misalnya, terus-menerus menghujani anak dengan barang-barang mahal atau memberikan pelayanan istimewa, tanpa mempertimbangkan apa yang sesungguhnya dibutuhkan anak. Akibatnya, anak bisa menjadi anak yang gampang bosan, kurang inisiatif, dan tak memiliki daya juang.

7. Tidak pernah memberi kepercayaan Orang tua selalu meramalkan kesalahan yang belum tentu dilakukan anak. Orang tua juga selalu mengritik anak, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya tak perlu kritikan. "Kamu, sih, nanti kalau jatuh, bagaimana?" Akibatnya, anak akan menjadi seorang yang pesimis, rendah diri, dan cenderung mengembangkan hal-hal yang selalu dilarang orang tua.

8. Menolak kehadiran anak Misalnya, jenis kelamin anak tak sesuai dengan harapan orang tua, sehingga orang tua cenderung menolak menjadikan anak sebagai bagian dari keluarga. Akibatnya, semua tindakan yang dilakukan orang tua selalu merugikan anak. Anak bisa rendah diri dan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap orang tua.

9. Suka menghukum Orang tua bersikap agresif terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak, dan cenderung memilih memberikan hukuman fisik dengan alasan mengajarkan disiplin. Bisa-bisa anak akan menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang wajar dilakukan dan akan melakukan hal yang sama terhadap keluarganya kelak.

10. Suka menggoda Orang tua cenderung melecehkan keberadaan anak dengan sering mengolok-olok dan mengungkapkan kekurangan anak di depan orang banyak. Akibatnya, anak akan merasa tidak dihargai dan rendah diri.

10 HAL YANG DIINGINKAN ANAK

Sebagai orang tua, kebanyakan dari kita lebih memperhatikan perilaku anak, dan bukannya perilaku kita sebagai orang tua. Tentu ini sesuatu yang tak adil bagi anak. Cobalah lihat diri Anda dari sudut pandang anak.

Penelitian terhadap seratus ribu anak menunjukkan, ada 10 hal yang paling diinginkan anak dari orang tua mereka:

1. Tidak bertengkar di hadapan mereka. Anak selalu mencontoh tindakan orang tua. Apa jadinya jika setiap hari orang tua adu mulut di hadapan mereka?

2. Berlaku adil terhadap semua anak-anaknya. Setiap anak memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Yang mereka butuhkan bukan perlakuan yang sama, melainkan perlakuan yang adil, sesuai kebutuhan masing-masing anak.

3. Orang tua yang jujur. Orang tua yang meminta anaknya berbohong, tentu tidak sadar pada apa yang tengah dilakukannya. Sekali lagi, anak mencontoh apa yang dilakukan orang tuanya.

4. Toleran terhadap orang lain. Toleransi akan mengajarkan anak untuk menghargai perbedaan.

5. Selalu menyambut teman-teman mereka dengan ramah.

6. Mau membangun semangat tim bersama mereka. Kekompakan antar-orang tua dan anak akan sangat berpengaruh saat anak beranjak dewasa.

7. Mau menjawab setiap pertanyaan mereka. Luangkan waktu untuk mereka. Jika Anda tak mampu menjawab, katakan Anda akan mencari tahu lebih dulu.

8. Mau mengajarkan disiplin, namun tidak di depan orang lain, terutama teman-teman mereka. Intinya, jagalah perasaan anak.

9. Lebih melihat sisi positif ketimbang sisi buruk mereka.

10. Konsisten. Bayangkan, apa yang dirasakan anak jika hari ini Anda menjawab A dan besok menjawab B untuk pertanyaan yang sama yang diajukan anak.

Bahaya Tontonan Kekerasan pada Anak

Ada dua umpan yang dilempar oleh produser agar film produksinya laku ditonton. Seksualitas dan kekerasan. Orang tua cenderung mencekal yang pertama, tapi jarang atau tidak sama sekali untuk yang kedua. Padahal "bahayanya" tak kalah seriusnya.

Ny. Lita Marfiandi terkejut melihat anaknya yang berumur delapan tahun melemparkan gelas dan piring. Apalagi tidak ada masalah dalam diri anaknya. Bahkan hal itu dilakukannya sambil tertawa senang. Ketika ditanya, anaknya dengan enteng menjawab, "Kayak Joshua di televisi."

Yang dimaksud adalah ulah Joshua dalam sinetron Anak Ajaib. Kasus anak Ny. Lita itu memunculkan kembali silang pendapat, benarkah tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak? Dalam lingkup yang lebih kecil, apakah tayangan kekerasan di televisi (juga game kekerasan) bisa memicu kebrutalan anak di kemudian hari?

Masih ingat dengan kasus Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (17), dua pelajar Columbine High School di Littleton Colorado, Amerika, yang menewaskan 11 rekannya dan seorang guru pada 20 April 1999? Dari keterangan temannya diperoleh, Dylan Klebold bisa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage. Sungguh sulit menjawab pertanyaan itu. Melihat jawaban anak Ny. Lita, jelas tayangan di televisi mempengaruhi perilakunya.

"Tapi, itu 'kan hanya meniru?" kata Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, pengajar di Fakultas Psikologi UI sambil menambahkan, fase anak-anak memang fase meniru. Tak heran bila anak-anak sering disebut imitator ulung. Lain persoalannya jika lemparannya ditujukan ke orang.

Ihwal kasus Harris dan Klebold, para peneliti berpendapat, video game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV. Pendapat Fawzia mendukung pernyataan itu, "Main game itu intens.

Di sana ada target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika (dilakukan) bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat." Apalagi analisis lanjutan menemukan, rasa minder Klebold dan Harris terhadap rekan-rekan yang berprestasi di bidang atletik mendorong mereka untuk menunjukkan kejantanan dengan bermain senjata.

Apa yang menarik anak? Yang menjadi masalah, mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan di TV? Tak bisa dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam memperebutkan kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula dengan pengiklanan suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang dilemparkan ke pemirsa harus bisa menohok langsung ke benak.

Kalau rajin memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan kekerasan itu besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar kekerasan. Ambil contoh sinetron seri Jacklyn.

Kekerasan digunakan dalam berbagai cara dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program itu. Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca.

Diduga, selain menghibur, yang terutama bikin "kecanduan" ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal.

TV swasta di Indonesia terkadang lebih "kejam" dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban. Jadi, orang tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman. Adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah, gebuk-gebukan perlu juga disensor. Jadi agresor dan tak pedulian

Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak.
Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.

Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih.

Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975.

Penelitian Centerwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995).

Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.

Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut," demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak.
Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat;

kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain;

ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain;

keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan. Nonton untuk pelarian

Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar kaca?

"Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.

Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.

Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."

Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?

Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif). Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV.

"Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 - 14 tahun di Northeast Ohio, AS.

Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah intelektual. Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru meningkatkan level trauma kejiwaan.

"Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah Singer. Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau agresi. "Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya.

Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain," ujar Singer. Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV.

Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap Singer.

Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka. Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV."

Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu.

"Kalau tiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton." Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, "Pada umur sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi." Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya.

Selama tiga tahun peneliti Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi jangan-jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600 orang dan letaknya yang terpencil itu?

Orang tua contoh model anak Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya.

Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV. Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga.

Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya. Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu.

Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu. Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru". Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.

Dua jam sudah cukup Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari. Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam?

Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak. Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.

Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar Fawzia.

Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga. (Yds. Agus Surono/Shinta Teviningrum)