Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa ibu yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menerapkan peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak mereka ataupun menunjukkan kekecewaan mereka terhadap si anak cenderung menghalangi perkembangan prasosial si anak.
Orang tua yang menggunakan hukuman keras sebagai bagian dari disiplin dalam mendidik anak mereka memiliki kemungkinan untuk menyebabkan masalah yang lebih dari sekedar hubungan orangtua-anak yang kurang mesra.
Penelitian yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa para ibu yang terlalu keras dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak mereka dalam menunjukkan empati.
Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa ibu yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menerapkan peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak mereka ataupun menunjukkan kekecewaan mereka terhadap si anak cenderung menghalangi perkembangan prasosial si anak, demikian ditulis Dr. Paul D. Hastings, dari National Institue of Mental Health.
Penelitian yang hanya memfokuskan diri pada gaya orang tua mengasuh anaknya tersebut menyimpulkan bahwa anak-anak mengartikan perilaku keras tersebut sebagai tidak adanya kasih sayang dari orang tua mereka.
Hasil penelitian ini telah diterbitkan pada edisi September jurnal Developmental Psychology.
Kebalikannya, para ibu yang hangat, yang menggunakan penjelasan dan tidak mengandalkan hukuman keras dalam mendisiplinkan anak-anak, mereka cenderung menumbuhkan rasa empati dalam diri anak-anak mereka. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat bagaimana gaya asuh ayah mempengaruhi kepedulian anak kepada sesama.
Kelompok peneliti mengobservasi perkembangan tiga kelompok anak-anak, tingkat keagresivan atau perilaku mengganggu yang berbeda-beda mulai dari pra sekolah sampai sekolah dasar.
Sementara ketiga kelompok menunjukkan tingkat kepedulian terhadap sesama yang sama pada masa pra sekolah, seiring dengan bergulirnya waktu rasa empati anak-anak yang memiliki masalah perilaku semakin berkurang.
Untuk mengukur kadar rasa empati, para peneliti melihat bagaimana anak-anak tersebut bereaksi terhadap sandiwara dimana seorang peneliti wanita atau ibu dari si anak mengalami kecelakaan kaki. Si orang dewasa yang mengalami kecelakaan meringis, mengekspresikan rasa sakitnya secara verbal dan menggosok-gosok tempat yang sakit.
Pada pra sekolah (sekitar usia 4-5 tahun) anak-anak yang agresif dan perusuh menunjukkan rasa peduli yang sama dengan teman-teman mereka. Beberapa tahun kemudian anak-anak dengan masalah perilaku baru menunjukkan kepedulian yang kurang terhadap si orang dewasa yang terluka. Pada usia mendekati 7 tahun, mayoritas dari anak-anak bermasalah ini telah kehilangan hampir seluruh dari rasa peduli mereka.
Lebih tragis lagi, anak-anak ini juga dideskripsikan sebagai pribadi yang antisosial oleh guru mereka, dan diri mereka sendiri. Anak-anak yang disebut agresif menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap sesama melalui kemarahan, kekerasan, dan menertawakan ketidakberuntungan orang lain, khususnya terhadap ibu mereka.
Peneliti mengatakan bahwa respons ini adalah reaksi terhadap gaya asuh ibu-ibu mereka.
Anak-anak laki-laki tersebut cenderung mengalami kesakitan secara emosionil dan, kemungkinan, fisik, dalam hubungan mereka dengan ibu mereka, demikian Hastings dan rekan mengatakan. Kemarahan mereka dan ketidakacuhan mereka pada saat ibu mereka membutuhkan pertolongan kemungkinan merupakan usaha mereka untuk memberikan jarak atau mengurangi rasa sakit yang mereka rasakan dalam interaksi dengan ibu mereka.
Para peneliti memperhatikan bahwa anak-anak pra sekolah dengan masalah perilaku menjadi berkurang sikap agresifnya jika mereka diajarkan untuk peduli terhadap sesama. Menanamkan rasa kepedulian kepada anak-anak adalah cara yang baik untuk menghilangkan masalah perilaku pada anak-anak yang cenderung agresif atau perusuh pada usia dini, demikian peneliti menyimpulkan.
(Developmental Psychology/imi) (sumber : Lippostar.com)
Orang tua yang menggunakan hukuman keras sebagai bagian dari disiplin dalam mendidik anak mereka memiliki kemungkinan untuk menyebabkan masalah yang lebih dari sekedar hubungan orangtua-anak yang kurang mesra.
Penelitian yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa para ibu yang terlalu keras dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak mereka dalam menunjukkan empati.
Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa ibu yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menerapkan peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak mereka ataupun menunjukkan kekecewaan mereka terhadap si anak cenderung menghalangi perkembangan prasosial si anak, demikian ditulis Dr. Paul D. Hastings, dari National Institue of Mental Health.
Penelitian yang hanya memfokuskan diri pada gaya orang tua mengasuh anaknya tersebut menyimpulkan bahwa anak-anak mengartikan perilaku keras tersebut sebagai tidak adanya kasih sayang dari orang tua mereka.
Hasil penelitian ini telah diterbitkan pada edisi September jurnal Developmental Psychology.
Kebalikannya, para ibu yang hangat, yang menggunakan penjelasan dan tidak mengandalkan hukuman keras dalam mendisiplinkan anak-anak, mereka cenderung menumbuhkan rasa empati dalam diri anak-anak mereka. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat bagaimana gaya asuh ayah mempengaruhi kepedulian anak kepada sesama.
Kelompok peneliti mengobservasi perkembangan tiga kelompok anak-anak, tingkat keagresivan atau perilaku mengganggu yang berbeda-beda mulai dari pra sekolah sampai sekolah dasar.
Sementara ketiga kelompok menunjukkan tingkat kepedulian terhadap sesama yang sama pada masa pra sekolah, seiring dengan bergulirnya waktu rasa empati anak-anak yang memiliki masalah perilaku semakin berkurang.
Untuk mengukur kadar rasa empati, para peneliti melihat bagaimana anak-anak tersebut bereaksi terhadap sandiwara dimana seorang peneliti wanita atau ibu dari si anak mengalami kecelakaan kaki. Si orang dewasa yang mengalami kecelakaan meringis, mengekspresikan rasa sakitnya secara verbal dan menggosok-gosok tempat yang sakit.
Pada pra sekolah (sekitar usia 4-5 tahun) anak-anak yang agresif dan perusuh menunjukkan rasa peduli yang sama dengan teman-teman mereka. Beberapa tahun kemudian anak-anak dengan masalah perilaku baru menunjukkan kepedulian yang kurang terhadap si orang dewasa yang terluka. Pada usia mendekati 7 tahun, mayoritas dari anak-anak bermasalah ini telah kehilangan hampir seluruh dari rasa peduli mereka.
Lebih tragis lagi, anak-anak ini juga dideskripsikan sebagai pribadi yang antisosial oleh guru mereka, dan diri mereka sendiri. Anak-anak yang disebut agresif menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap sesama melalui kemarahan, kekerasan, dan menertawakan ketidakberuntungan orang lain, khususnya terhadap ibu mereka.
Peneliti mengatakan bahwa respons ini adalah reaksi terhadap gaya asuh ibu-ibu mereka.
Anak-anak laki-laki tersebut cenderung mengalami kesakitan secara emosionil dan, kemungkinan, fisik, dalam hubungan mereka dengan ibu mereka, demikian Hastings dan rekan mengatakan. Kemarahan mereka dan ketidakacuhan mereka pada saat ibu mereka membutuhkan pertolongan kemungkinan merupakan usaha mereka untuk memberikan jarak atau mengurangi rasa sakit yang mereka rasakan dalam interaksi dengan ibu mereka.
Para peneliti memperhatikan bahwa anak-anak pra sekolah dengan masalah perilaku menjadi berkurang sikap agresifnya jika mereka diajarkan untuk peduli terhadap sesama. Menanamkan rasa kepedulian kepada anak-anak adalah cara yang baik untuk menghilangkan masalah perilaku pada anak-anak yang cenderung agresif atau perusuh pada usia dini, demikian peneliti menyimpulkan.
(Developmental Psychology/imi) (sumber : Lippostar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar