DIMAS (10) pulang sekolah dengan wajah cemberut. Dia langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar sampai sore hari. Dimas sudah membayangkan, ayahnya akan marah besar karena Dimas mendapat nilai empat untuk ulangan Matematikanya kemarin.
Dulu ketika ulangan IPS-nya mendapat nilai empat juga, ayah marah dan menghukum Dimas tidak boleh main ke luar hingga satu minggu. Dimas juga tidak mendapatkan uang saku selama dua hari.
Dimas sangat takut. Guru di sekolah minta supaya ulangan tersebut ditandatangani orangtua. Mau tidak mau ayah akan mengetahui dia mendapat nilai empat lagi dan Dimas pasti terkena omel ayah. Tetapi, bila tidak minta tanda tangan, pasti ibu guru di sekolah marah. Perasaan takut dan cemas menggelayuti perasaan Dimas.
Bingung apa yang harus dilakukannya, Dimas memberanikan diri memalsu tanda tangan orangtuanya. Usaha itu ternyata berhasil. Orangtuanya tidak tahu dirinya mendapat nilai jelek, sementara guru juga tidak marah karena sudah ada tanda tangan orangtua di kertas ulangan itu.
Keberhasilan memalsu tanda tangan yang melepaskan Dimas dari omelan ayah dan gurunya, diulang terus oleh Dimas setiap kali Dimas mendapat nilai jelek. Orangtua hanya tahu Dimas selalu mendapat nilai bagus. Sementara, guru merasa orangtua Dimas sudah mengetahui kualitas Dimas di sekolah seperti apa. Ketika hari pembagian rapor tiba dan prestasi Dimas ternyata biasa-biasa saja bahkan ada dua nilai lima di rapornya, baru ”seluruh dunia” ribut. Orangtua tidak menerima Dimas tidak naik kelas karena selama ini nilainya bagus. Sementara guru juga tidak bisa menerima protes karena merasa orangtua telah mengetahui semua nilai ulangan Dimas.
TIDAK hanya orangtua Dimas yang kecewa jika anaknya gagal atau mendapat nilai jelek di sekolah. Mereka ingin anaknya mencetak prestasi lebih tinggi dari teman-temannya. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, orangtua tidak segan-segan memarahi anaknya dan menghukumnya dengan hukuman cukup berat jika anaknya mendapat nilai jelek.
Sebenarnya apa itu prestasi? Menurut Elly Risman, psikolog dari Club Buah Hati, prestasi adalah perwujudan dari bakat dan kemampuan. Bakat merupakan kemampuan bawaan yang berupa potensi. Namun, walau potensi ini sudah ada di dalam diri, tetap butuh latihan dan pengembangan terus menerus. Jika bakat tidak dilatih dan dikembangkan, maka tidak mendatangkan manfaat apa pun pada orang yang memilikinya.
Kemampuan merupakan daya atau kesanggupan melakukan suatu tindakan. Kemampuan ini didapat dari hasil pembawaan dan latihan. Kenyataannya, walau seorang anak memiliki bakat dan kemampuan, tidak mudah membuat seorang anak berprestasi.
”Banyak kenyataan di luar diri anak yang membuat kedua hal itu tidak muncul. Kenyataan paling jelas adalah kenyataan di keluarga, kenyataan di media, dan kenyataan di sekolah,” kata Elly di tengah seminar Club Buah Hati bertajuk Menghantar Anak Berprestasi dengan Cara Menyenangkan, di Multi Function Room Graha Niaga, Sabtu (27/7).
Kenyataan-kenyataan itu harus dilihat secara keseluruhan. Misalnya di rumah, bila setiap hari sang anak mendapatkan gizi yang baik dan rangsangan yang tinggi dari keluarganya, anak bisa berkembang dengan cepat dan cerdas. Namun, di sisi lain ada orangtua yang menuntut segala sesuatu dengan standar tinggi yang begitu tingginya sampai tidak satu pun anak bisa menjangkaunya. Anak tidak diberi kesempatan untuk sekali-kali merasakan hal-hal di bawah standar yang ditetapkan. Jika prestasi anak di bawah standar, maka hanya omelan dan hukuman yang didapat anak.
Hal lain yang membuat anak tidak berprestasi, yaitu sikap orangtua yang membiarkan anak mengonsumsi seluruh sajian yang ditayangkan di media. Sajian seperti di televisi atau komik memang sangat menarik bagi anak, namun tidak semua informasi merupakan informasi sehat dan dibutuhkan anak. Akibatnya, anak mengetahui banyak hal yang belum pantas. Orangtua lupa dia tidak punya kemampuan mengontrol seluruh materi yang ditampilkan di media.
Di sekolah, anak juga mendapatkan kenyataan yang membuatnya sulit berprestasi. Misalnya, materi pembelajaran dan cara penyampaian tidak menarik. Hal ini terjadi karena guru tidak paham tentang perkembangan anak. Gaya komunikasi guru tidak sesuai dengan anak-anak. Selain itu, buku dan alat peraga yang digunakan tidak bisa memenuhi rasa ingin tahu dan kemampuan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar